Hari ini, Kamis 2 Oktober 2025, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengajukan surat permohonan jawaban atau klarifikasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Sekretariat Negara RI. Permohonan ini adalah bagian dari prinsip partisipasi bermakna warga negara untuk memastikan partisipasi warga negara melalui penyampaian masukan didalam forum RDPU atau media lainnya betul-betul di pertimbangkan oleh pembuat undang-undang dan diberikan penjelasan mengenai keputusan yang diambil. Di dalam surat ini, Kami meminta kepada DPR dan Pemerintah untuk menyampaikan pertimbangan yang dilakukan dan menjawab poin-poin masukan Kami terhadap pasal-pasal di draf Rancangan KUHAP yang saat ini sedang dibahas di DPR. Kami meminta jawaban DPR dan Pemerintah terhadap poin-poin masukan Kami seputar isu paling krusial di RKUHAP, yakni: 1) Koordinasi dan pengawasan penyidikan (korwasdik) oleh Penyidik Polri, 2) Penyidik TNI, 3) Jaminan atas tindak lanjut laporan, 4) Syarat dan mekanisme upaya paksa penangkapan dan penahanan, 5) Syarat dan mekanisme upaya paksa penggeledahan dan penyitaan, 6) Teknik investigasi khusus, 7) Hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban, 8) Hak kelompok rentan, 9) Jaminan hak kebebasan beragama/berkeyakinan, 10) Pra-peradilan, 11) Advokat dan equality of arms, dan 12) Upaya hukum kasasi. Kami memberikan masukan terhadap isu-isu tersebut karena ketentuan yang diatur di dalam RKUHAP masih bertentangan dengan prinsip due process of law, fair trial, dan berbagai standar perlindungan hak asasi manusia.
Langkah ini Kami lakukan sebab masukan-masukan Kami terhadap draf RKUHAP, yang telah kami sampaikan pada berbagai pertemuan, tidak pernah diakomodir oleh Pemerintah dan DPR. Kami bahkan ragu pendapat kami dipertimbangkan sungguhan di dalam penyusunan dan pembahasan RKUHAP ini. Sebagai contoh, perwakilan Koalisi dan pakar hukum pernah diundang Kementerian Hukum untuk membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap draf RKUHAP, tapi Pemerintah tidak pernah mensintesiskan gagasan atau masukan mana dari masyarakat dan ahli yang akan diakomodir. Setelah pertemuan dengan masyarakat dan ahli, Pemerintah biasanya akan menggunakan hasil buah pikiran dirinya sendiri yang sejak awal sebenarnya sudah ada. Rapat dengan masyarakat dan ahli yang diselenggarakan Pemerintah seakan-akan sebatas untuk check-list syarat prosedur pembentukan undang-undang berupa adanya partisipasi yang bermakna dari masyarakat. Hal ini diperkuat dengan pernyataan sikap tim ahli sebelumnya terkait pelibatan ahli hanya sebagai formalitas untuk memenuhi syarat tersebut. Padahal masukan yang diberikan masyarakat telah sangat konkret dan seringkali dalam wujud ide yang sudah ‘di-norma-kan’ sehingga lebih mudah untuk diakomodir, tapi tetap tidak dilakukan Pemerintah dan DPR. Sama halnya ketika masyarakat menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR. Pelaksanaannya sama dengan namanya, “rapat dengar pendapat” , karena masukan masyarakat hanya sebatas didengar, tapi tidak dipertimbangkan, apalagi diakomodir.
Kami meminta agar Pemerintah dan DPR mempertimbangkan dan menjawab masukan kami terhadap pasal-pasal draf RKUHAP. Kami menuntut Pemerintah dan DPR untuk memenuhi syarat partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan undang-undang, yang tidak hanya memenuhi hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), tapi juga memenuhi hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Masyarakat berhak atas regulasi yang berpihak pada perlindungan hak asasi manusia warga negara yang mana akan ditentukan dari proses penyusunan dan pembahasan undang-undang yang baik dan benar. Yaitu undang-undang yang tunduk pada teori, doktrin, dan prinsip, serta berdasarkan riset mendalam maupun praktik terbaik dalam pengaturan hukum. Masyarakat berhak atas muatan undang-undang yang dihasilkan dari pertarungan gagasan dan argumentasi yang objektif, bukan hanya berdasarkan kepentingan atau pendapat subjektif Pemerintah dan DPR. Dari jawaban yang semestinya diberikan Pemerintah dan DPR itu, Kami berharap masyarakat dapat menilai kemampuan Pemerintah dan DPR dalam menyusun argumentasi ketika menentukan materi yang dimuat di dalam undang-undang, dan apa basis teorinya jika tidak mengakomodir masukan masyarakat. Sebab, sebagaimana tercantum pada surat permohonan Kami, seluruh poin masukan masyarakat didasarkan dengan kesesuaian terhadap teori dan prinsip seperti prinsip due process of law, fair trial, equality of arms, dan standard perlindungan hak asasi manusia lainnya. Masukan masyarakat terhadap RKUHAP juga telah berbasis penelitian dan studi kasus dan komparasi sehingga tidak melupakan pertimbangan aspek kebutuhan praktik di lapangan. Jika Pemerintah dan DPR tidak mengakomodir masukan Kami, tapi tidak mampu menjawab masukan kami dengan basis argumentasi yang kuat, maka masyarakat selayaknya khawatir karena telah terampasnya hak masyarakat atas undang-undang yang baik dan benar.
Akses Surat Permohonan Jawaban Beserta Poin-Poin Masukan Koalisi Terhadap Draf RKUHAP: Download
Jakarta, 2 Oktober 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP
- LBH Jakarta
- IJRS
- LeIP
- ILRC
- ICJR
- YLBHI
- KontraS
- IPP FPL
- Amnesty International Indonesia
- AJI Indonesia
- LBH Masyarakat
- SUAKA
- PJS
- LBH APIK Jakarta
- LBH Pers
- ELSAM
- HRWG
- PPMAN
- ICW
- YAPPIKA
- ICEL
- Trend Asia
- BEM FH UI
- CDS
- PBHI
- Koalisi RFP
- PUSKAPA FH UI
- AKSI Keadilan
- SAFEnet
- Setara Institute
- CRM
- IAC
- Lokataru
- YAPPIKA