Dalam rapat kerja Pemerintah bersama Badan Legislasi DPR RI pada 18 September 2025, Wamenkum RI memberikan pernyataan bahwa apabila KUHAP Baru belum disahkan saat KUHP Baru mulai berlaku pada 2 Januari 2026 maka seluruh tahanan di kepolisian dan kejaksaan bisa dibebaskan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP memandang bahwa pernyataan tersebut sesat, tidak berdasar, dan hanya digunakan untuk mencari-cari alasan pembenar agar pembahasan RUU KUHAP bisa dikebut meski sarat masalah. Hal ini mengingat Pasal 617 KUHP Baru secara tegas telah mengatur pemberlakukan otomatis pasal-pasal dalam KUHP Baru sebagai rujukan untuk menggantikan pasal-pasal KUHP Lama, termasuk bagi pasal-pasal tindak pidana yang pelakunya dapat dikenakan penahanan sebagaimana disebutkan dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Selain itu, alasan tersebut seolah menunjukkan, tidak ada pilihan lain selain segera mengesahkan draf RKUHAP versi DPR yang faktanya masih memuat berbagai pengaturan justru lebih buruk dibandingkan dengan hukum acara yang saat ini berlaku.
Sebelumnya, Koalisi telah menyuarakan agar pembahasan RUU KUHAP tidak dilakukan secara tergesa-gesa seperti yang terjadi pada Juli 2025 ketika Pemerintah dan DPR RI merampungkan pembahasan DIM RUU KUHAP yang terdiri dari 1676 poin DIM dan 334 pasal hanya dalam waktu 2 hari yakni 9-10 Juli 2025. Koalisi juga mengkritik praktik partisipasi publik yang manipulatif oleh DPR dan Pemerintah yang seperti seolah-olah memfasilitasi sebanyak-banyaknya ruang penyampaian pendapat secara formal namun ternyata cherry picking untuk pihak-pihak yang tidak jelas kriterianya.
Ketika telah menyampaikan masukan pun, publik juga tidak diberikan penjelasan yang memadai baik lisan maupun tertulis mengenai alasan-alasan mengapa konsep masukan yang telah disampaikan juga tidak dipertimbangkan. Salah satu konsep masukan yang belum diakomodir hingga saat ini dalam RUU KUHAP yakni terkait mekanisme kontrol oleh lembaga pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan-penahanan untuk mengatasi kesewenang-wenangan dan praktik kekerasan/penyiksaan oleh aparat yang paling banyak ditemukan dalam proses tersebut.
Draf RUU KUHAP terakhir per 11 Juli 2025 hasil pembahasan Pemerintah dan DPR RI masih banyak mengandung pasal-pasal bermasalah yang jika disahkan hanya akan membuat praktik peradilan semakin tidak akuntabel, melanggengkan ruang-ruang untuk kekerasan, penyiksaan, hingga perilaku koruptif oleh aparat. Dampak yang semakin menyengsarakan masyarakat ini tentu sangat berbahaya untuk diabaikan hanya demi memenuhi ambisi kejar tayang dari elit-elit pembuat kebijakan yang ingin memberlakukan satu set hukum pidana materil (KUHP) dan formil (KUHAP) secara bersamaan di awal 2026.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menuntut agar:
- Pemerintah dan DPR harus memastikan revisi KUHAP adalah untuk kepentingan rakyat dan demi perbaikan sistem hukum acara penegakan hukum yang transparan, akuntabel dan adil yang menjunjung tinggi hak warga negara, bukan untuk kepentingan kekuasaan atau lainnya;
- Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang menyesatkan publik terkait pemberlakuan KUHP Baru semata-mata untuk memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah;
- Pemerintah dan DPR merombak total draf RUU KUHAP per 11 Juli 2025 dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP untuk memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check and balances, sebagaimana usulan konsep-konsep dalam Draf Tandingan RUU KUHAP versi Masyarakat Sipil; dan
- Pemerintah dan DPR mesti melakukan pembahasan RUU KUHAP secara mendalam, tidak terburu-buru, dan memberikan penjelasan secara memadai kepada publik untuk merespons setiap masukan masyarakat terhadap RUU KUHAP yang telah disampaikan.
Jakarta, 28 September 2025
Hormat Kami,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP