Welcome to Reformasi KUHAP   Click to listen highlighted text! Welcome to Reformasi KUHAP
Skip to content

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi KUHAP Meminta DPR Kembali Membuka Pembahasan RKUHAP secara Substansi, tidak Tergesa-gesa dan Melakukan Partisipasi Publik yang ‘Bermakna’

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

“DRAF RKUHAP MASIH BANYAK CATATAN DAN JUSTRU BERPOTENSI MENIMBULKAN MASALAH-MASALAH BARU SECARA SERIUS: KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK REFORMASI KUHAP MEMINTA DPR KEMBALI MEMBUKA PEMBAHASAN SECARA SUBSTANSI, TIDAK TERGESA-GESA DAN MELAKUKAN PARTISIPASI PUBLIK YANG ‘BERMAKNA’”

 

Senin, 21 Juli 2025, Komisi III DPR RI mengundang YLBHI secara mendadak pada hari Minggu 20 Juli 2025 melalui pesan whatsapp untuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). YLBHI hadir dalam RDPU tersebut bersama dengan anggota koalisi masyarakat sipil di Komisi III DPR RI. Bersama Koalisi, YLBHI memandang perlu untuk hadir dan mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rule of law), dalam rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana DPR seharusnya memposisikan dirinya mewakili rakyat dan menguatkan posisi rakyat yang berhadapan dengan Polisi dan Jaksa yang merupakan wakil negara dalam penegakkan hukum pidana. Dengan pengalaman 55 Tahun mendampingi masyarakat dan korban pelanggaran hukum oleh aparat, YLBHI menegaskan bahwa kritik dan keresahan suara masyarakat sipil adalah berdasar serta sesuai fakta dan belum terjawab oleh RKUHAP. Dimana RKUHAP yang ada belum secara serius menunjukkan semangat perbaikan, bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru dan pelanggaran ham serius dan sistematis.

Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih 2 jam Koalisi mengingatkan Komisi III DPR RI terkait pentingnya keterbukaan informasi dan partisipasi bermakna dalam penyusunan UU. Penting untuk dicatat bahwa partisipasi publik yang bermakna bukan hanya bermakna hak untuk didengarkan (right to be heard), namun juga terdapat hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk diberi penjelasan (right to be explain). Koalisi memandang penyusunan RKUHAP dilakukan secara tergesa-gesa, melanggar prinsip konstitusi dan mengabaikan prinsip partisipasi bermakna yang tulus, tak heran jika draft RKUHAP yang dibahas DPR RI masih menyisakan berbagai persoalan serius. Meski Komisi III mengaku telah melakukan RDPU dengan berbagai pihak dan membahas 1676 DIM pasal  secara “kilat” dalam 2 hari, Koalisi belum melihat perubahan fundamental terhadap perubahan hukum acara yang lebih baik dalam RKUHAP versi 11 Juli 2025.  Salah satu hal yang mendasar adalah masalah tidak seriusnya aturan penguatan advokat dan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan kelompok marginal maupun  persoalan   pencegahan praktik penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum dan HAM (penyiksaan, kriminalisasi, salah tangkap, rekayasa kasus) maupun urgensi penguatan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas upaya paksa penyidik. 

Berkaitan dengan hal itu, Pimpinan dan anggota Komisi III DPR RI menyampaikan komitmennya untuk tidak tergesa-gesa mengesahkan RKUHAP, akan transparan, membuka ruang pembahasan kembali secara substansi. Meskipun draf RKUHAP sudah berada di tim perumus dan tim sinkronisasi. Hal ini mengomentari pertanyaan dari Koalisi terkait apakah Korban proses hukum yang salah sudah dihadirkan untuk menyampaikan masukan?, merespon hal tersebut koalisi menyampaikan sikap skeptisnya dengan terus akan mengawal proses dan menagih termasuk dengan pendidikan publik, aksi demonstrasi, serta membangun gerakan sosial lainnya sebagai bagian dari partisipasi publik. . 

Dalam pertemuan tersebut Koalisi mengemukakan 14 catatan masalah terhadap RKUHAP yang diunggah di Web DPR RI pada 11 Juli 2025, sebagai berikut:

 

  1. Proses penyusunan RKUHAP tergesa-gesa, mengabaikan prinsip konstitusi dan partisipasi publik bermakna yang sejati.  Koalisi mendesak DPR RI untuk betul-betul membuka ruang partisipasi publik yang tulus dan bermakna serta mempertimbangkan secara serius seluruh masukkan dan kritik dari Koalisi, akademisi, masyarakat sipil, dan berbagai organisasi lainnya, termasuk mendengar suara warga yang selama ini menjadi korban proses hukum yang buruk. RKUHAP yang mengatur mengenai pengekangan terhadap hak asasi manusia harus disusun secara cermat, hati-hati, membuka ruang partisipasi bermakna, serta menjamin adanya perlindungan hak asasi manusia sehingga menciptakan sistem peradilan yang jujur dan adil.
  2. Penguatan advokat dalam RKUHAP belum maksimal dan serius. Dalam Pasal 141 huruf e dan j RKUHAP, Advokat diberikan akses terhadap bukti dan berkas perkara atau pre trial discovery rights. Akan tetapi, tidak dijelaskan secara konkrit bagaimana pengujian dan penegakan hukumnya apabila bukti-bukti tidak diberikan, bagaimana bila terdapat pelanggaran dalam proses pemeriksaan tersangka, bagaimana jika advokat ingin menolak proses? Hal tersebut belum dijelaskan dalam RKUHAP. Bila tidak ada mekanismenya, maka pengaturan tersebut akan sulit untuk dijalankan. Selain itu, terdapat ketimpangan untuk menyanggah pembuktian dalam persidangan bagi advokat dibandingkan dengan aparat penegak hukum lain. Hak imunitas bagi advokat dan pemberi bantuan hukum penting untuk dijamin. Advokat jelas tidak boleh dituntut baik secara pidana atau perdata atas tindakan pendampingan yang dilakukan advokat dengan itikad baik.
  3. Hak atas bantuan hukum bagi tersangka, terdakwa, saksi, dan korban belum dijamin secara eksplisit dalam RKUHAP. Selain itu, terdapat masalah bantuan hukum dan penunjukan advokat oleh penyidik. Pasal 134 huruf c RKUHAP dinyatakan bahwa penyidik dapat menunjuk pengacara jika tersangka tidak mampu dan tidak punya kuasa hukum. Selain itu, RKUHAP melalui Pasal 146 ayat (4) melegitimasi praktik buruk yang selama ini dialami oleh para tersangka, yaitu menandatangani berita acara penolakan didampingi advokat
  4. RKUHAP memberikan kewenangan tanpa batas pada penyelidikan. Dalam Pasal 5 RKUHAP, penyelidik bisa melakukan tindakan lain menurut hukum tanpa penjelasan. Kemudian, Pasal 16 RKUHAP menyatakan bahwa pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) sebagai metode penyelidikan. Padahal, penyelidikan adalah tahapan mencari ada atau tidaknya tindak pidana. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan adanya penjebakan serta membuka banyak ruang bagi diskresi.
  5. RKUHAP memberikan kewenangan besar kepada penyidik Polri  karena ditetapkan menjadi penyidik utama yang membawahi penyidikan pegawai negeri sipil (PPNS) dan Penyidik Tertentu (“Kepolisian Superpower”). Ketentuan ini berbahaya sebab berpotensi untuk menghambat efektivitas penyidikan yang berbasis keahlian teknis yang dilakukan oleh Penyidik PPNS.
  6. RKUHAP memberikan kewenangan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi penyidik. Pasal 7 ayat (5), Pasal 20 ayat (2), membuka ruang bagi Tentara Nasional Indonesia untuk menjadi penyidik pada tindak pidana umum dan melakukan upaya paksa. Pelibatan TNI sebagai penyidik kasus pidana umum potensial menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Pelanggaran HAM bisa terjadi dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penetapan tersangka. Kewenangan penyidikan tindak pidana seharusnya hanya menjadi kewenangan penyidik sipil.
  7. RKUHAP belum menjamin secara tegas hak-hak tersangka, terdakwa, dan saksi sehingga efektif untuk mencegah penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Pasal 134 dan 135 RKUHAP belum menjamin secara tegas hak seseorang untuk bebas dari penyiksaan dan belum mengakomodir standar HAM internasional, yaitu ICCPR, UNCAT, dan OPCAT.
  8. RKUHAP belum menjamin pemenuhan hak kelompok rentan. Pasal 134 c, Pasal 135 b, dan Pasal 135 b Belum sesuai dengan Jaminan dan Ketentuan U TPKS, UU PKDRT UU Peradilan Anak mendapatkan bantuan hukum maupun pendampingan selain dari advokat (paralegal, pendamping lainnya). Agar hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, korban, perempuan, disabilitas, orang lanjut usia ketika berhadapan dengan hukum dapat diterapkan secara operasional dan konsisten dengan standar pemenuhan yang sama pada setiap tahapan proses peradilan, maka diperlukan ketentuan pendelegasian dalam KUHAP untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan hak-hak tersebut di level operasional. Hak penyandang disabilitas mental dan intelektual untuk dapat memberikan keterangan harus dijamin, sebab Ilmu medis modern menunjukkan bahwa gangguan jiwa bersifat episodik. Dalam fase remisi atau pemulihan, orang tersebut sangat mampu berpikir, mengambil keputusan, memahami fakta, dan memberi keterangan yang akurat apalagi bila ia mendapat dukungan secara layak. RKUHAP harus mengatur adanya mekanisme komplain untuk melaporkan keberatan dan konsekuensi terhadap pelanggaran hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban.
  9. Ketiadaan mekanisme uji terhadap upaya paksa dalam RKUHAP. Dalam penangkapan, standar HAM internasional mengemukakan bahwa maksimal 48 jam setelah penangkapan, maka seseorang harus dihadirkan ke hadapan hakim untuk dicek apakah sah atau tidak penangkapan atau penahanannya. Penahanan pra-persidangan dalam Pasal 93 dan Pasal 94 RKUHAP dilakukan tanpa mekanisme kontrol judisial, sehingga melanggar prinsip habeas corpus, yaitu menghadapkan seseorang yang ditangkap ke pengadilan. Secara prinsip, RKUHAP belum mengakomodir tujuan konseptual penahanan, yaitu untuk memperlancar pemeriksaan, bukan untuk “hukuman awal” bagi seorang yang diduga melakukan tindak pidana. Hal yang sama juga terjadi dalam penyitaan, penyadapan, pemeriksaan surat, penggeledahan dan pemblokiran, penguatan izin pengadilan sebagai check and balances perlu diperkuat dengan adanya lembaga hakim pemeriksa pendahuluan atau hakim komisaris.
  10. RKUHAP justru menghilangkan mekanisme penting dalam praperadilan untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat. Upaya paksa yang sudah dapat izin tidak dapat diuji ke praperadilan dan hanya dapat diajukan sekali. Ketentuan ini menghapus mekanisme penting untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat. Selain itu, objek praperadilan selama ini tidak ada ruang dan mekanisme yang jelas untuk memeriksa dan memulihkan pelanggaran hak tersangka dan terdakwa. Terbatasnya ruang komplain yang sifatnya post factum (setelah terjadi) menyebabkan banyak hak yang sudah terlanggar terlebih dahulu baru mendapat remedy sehingga bukan fokus pada pencegahan.
  11. Dalam RKUHAP, kewenangan pengadilan dalam mengawasi (judicial scrutiny) diatur setenga hati. Dalam kewenangan upaya paksa perkembangan draft RUU KUHAP memperkenalkan adanya “izin ketua pengadilan” untuk mengakomodir rekomendasi masyarakat sipil. Namun izin pengadilan tersebut justru bisa dikecualikan berdasarkan alasan “Keadaan Mendesak” yang ekstensif dan subjektif, yaitu:
    1. letak geografis yang susah dijangkau;
    2. Tertangkap Tangan;
    3. berupaya melarikan diri;
    4. berpotensi berupaya merusak dan menghilangkan barang bukti;
    5. melakukan tindak pidana tertentu; dan/atau
    6. situasi berdasarkan penilaian Penyidik.

Hal ini berbahaya karena pembatasan ini dilakukan berdasarkan penilaian subjektif dari penyidik.

12.RKUHAP adalah kemunduran jaminan HAM terkait keharus selaras dengan ratifikasi konvensi internasional yang memuat standar perlindungan hak asasi manusia. Karena RKUHAP  justru menghapus Bagian sangat Penting dalam Hal konsideran menimbang di huruf c. yakni terkait pentingnya RKUHAP selaras dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia;

13.Penyelesaian perkara di luar persidangan yang dianggap restorative justice dilakukan sejak tahap penyelidikan tanpa jaminan dan akses perlindungan terhadap korban (Pasal 74 ayat 3), padahal RJ secara logis tidak mungkin dilakukan sebelum peristiwa pidananya ada, hal ini membuka ruang penyalahgunaan, bahkan penyelidik bisa bertindak seperti hakim memutuskan perkara, tanpa ada ruang menguji tindakan tersebut kemana. Draft RKUHAP Pasal 73A mengadopsi mekanisme baru yaitu mekanisme pengakuan bersalah terdakwa yang dalam proses perundingan dan persidangannya tidak ada melibatkan korban, dan tidak memberikan persyaratan dan ukuran terhadap tuduhan yang berlapis, serta ukuran penjatuhan keringanan hukuman pidana tidak dibuat secara jelas. (DIM No. 405-406).

14. RKUHAP masih mengatur mengenai pengadilan koneksitas yang harus dihapuskan. Kami berpendapat bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum wajib diadili di peradilan umum, sedangkan peradilan militer hanya untuk mengadili pelanggaran hukum militer, justru agenda utamanya adalah perlu tindak lanjut revisi UU Pengadilan Militer dan KUHP Militer.

 

Jakarta, 22 Juli 2025

Hormat kami,

Click to listen highlighted text!