Pernyataan Sikap Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia 1
PERNYATAAN SIKAP FORUM DOSEN HUKUM PIDANA INDONESIA
“Menggugat Ketidaksinkronan RKUHAP 2025 dan Antiklimaks Reformasi Hukum Pidana”
Kami, para dosen hukum pidana dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, dengan ini menyampaikan keprihatinan dan penolakan tegas terhadap proses dan substansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 yang tengah dibahas secara tergesa-gesa di DPR RI. RKUHAP versi saat ini tidak mencerminkan semangat reformasi hukum pidana, bahkan berpotensi menjadi langkah mundur yang memperkuat kekuasaan koersif aparat penegak hukum dan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan prosedural.
Kami menilai bahwa RKUHAP 2025 memuat berbagai permasalahan sebagai berikut:
- Gagal Mengintegrasikan Semangat Progresif KUHP Nasional
KUHP Nasional 2023 mengedepankan penghormatan terhadap martabat manusia (Pasal 52 KUHP 2023), prinsip keadilan di atas kepastian hukum (Pasal 53 ayat (2) KUHP 2023), dan prinsip-prinsip pemidanaan modern yang memerhatikan kondisi pribadi dan keadaan sosial dari pelaku (Pasal 54 KUHP 2023);
Namun RKUHAP justru masih mempertahankan pendekatan prosedural lama yang bersifat represif dan formalis, tanpa prinsip due process of law dan tanpa koreksi yang berarti terhadap praktik penyiksaan, penyalahgunaan wewenang, dan lemahnya kontrol yudisial;
KUHP Nasional 2023 mengedepankan beragam alternatif sanksi perampasan kemerdekaan (penjara), dengan prinsip pidana penjara sebagai upaya terakhir (Pasal 70 KUHP 2023);
Namun RKUHAP justru sama sekali tidak mengatur tentang pelaksanaan putusan jenis-jenis sanksi baru (pidana dan tindakan) dalam KUHP 2023, termasuk jenis-jenis sanksi bagi subjek hukum korporasi. Padahal, aturan tentang kewenangan institusi-institusi penegak hukum yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan putusan pidana perlu diatur dalam undang-undang, yaitu KUHAP. - Membuka Ruang Penyalahgunaan Kewenangan Penyelidik dan Penyidik
Di tahap penyelidikan dapat dilakukan kewenangan investigasi khusus, seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery), tanpa ada aturan apapun tentang persyaratan dan prosedur kewenangan investigasi khusus;
Penahanan dalam Pasal 93, dan 94 dilakukan tanpa mekanisme kontrol yudisial yang efektif, melanggar prinsip habeas corpus (tidak sama sekali ada jaminan orang yang ditangkap harus segera dihadapkan ke hakim);
Penetapan tersangka lewat kekerasan (Pasal 85 ayat 6) tidak memiliki konsekuensi hukum yang cukup untuk mencegah praktik penyiksaan;
Alasan penahanan diperluas secara subjektif (“menghambat pemeriksaan”, “memberikan informasi tidak sesuai fakta”, “tidak bekerja sama dalam pemeriksaan”) yang bertentangan dengan hak diam dan hak ingkar tersangka.
- Menghapus Mekanisme Check and Balances
Izin penahanan pre-factum oleh hakim (habeas corpus) mutlak perlu, dan penahanan tidak dapat dilakukan hanya dengan alasan dalam keadaan mendesak;
Penggeledahan dan pemblokiran data dilakukan tanpa kriteria objektif dan tanpa pengawasan pengadilan (Pasal 106 & 132A);
Pernyataan Sikap Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia 2
Pengakuan bersalah dapat dibuat di tingkat penyidikan tanpa pengawasan (Pasal 22 ayat 4–5);
Hampir semua upaya paksa digeneralisir, seolah-olah dapat dilakukan tanpa izin pengadilan (judicial scrutiny), apabila dalam keadaan mendesak yang didentukan berdasarkan “penilaian penyidik” (Pasal 90, 93, 112, 124).
- Melemahkan Hak Tersangka dan Peran Advokat
Hak atas bantuan hukum tidak dijamin secara eksplisit (Pasal 134 huruf c).
Penolakan pendampingan hukum tidak memerlukan kontrol hakim (Pasal 146 ayat 5).
Akses advokat terhadap bukti dan berkas perkara(pre-trial discovery rights) tidak dijamin sama sekali, di mana hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang berimbang (equal of arms) dalam hukum acara pidana.
- Mengaburkan Konsep Restorative Justice (RJ)
RJ dilakukan sejak tahap penyelidikan tanpa jaminan dan akses perlindungan terhadap korban (Pasal 74 ayat 3), padahal RJ secara logis tidak mungkin dilakukan sebelum peristiwa pidananya ada.
RJ disyaratkan dengan pencabutan laporan, membatasi hak korban atas keadilan substantif.
Tidak ada standar prosedural yang konsisten antar pasal (Pasal 74A, 77, 191).
- Membatasi Hak Praperadilan
Upaya paksa yang sudah mendapat izin tidak dapat diuji melalui praperadilan (Pasal 103, 149, 151). Ketentuan ini menghapus mekanisme penting untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat.
Belum ada pengaturan tentang beban pembuktian jika keabsahan upaya paksa diuji ke pengadilan. Padahal, yang dibebankan untuk membuktikan bahwa upaya paksa telah dilakukan sesuai hukum adalah penegak hukum, bukan pihak yang dirugikan (tersangka/terdakwa).
- Lemahnya Respons terhadap Dinamika Hukum Kontemporer
Tidak ada pengaturan mengenai penggunaan teknologi informasi dalam proses pemeriksaan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan hingga eksekusi putusan.
Tidak diatur hukum acara pelaksanaan pidana dan penanganan korporasi secara tuntas, terutama tentang upaya paksa untuk subjek hukum korporasi yang mesti dibedakan dari subjek hukum orang.
- Mengabaikan Pengaturan Pidana Adat, Perlindungan Lingkungan Hidup dan Spesialisasi Penyidikan di Sektor Strategis
RKUHAP 2025 belum mengatur tata cara pembuktian dan pemidanaan terkait tindak pidana adat (customary crimes) sebagaimana diakomodasi dalam KUHP Nasional 2023. Ketidakhadiran norma ini menyebabkan ketimpangan antara pengakuan pidana adat secara materiil dan mekanisme penegakannya secara formil.
Tidak ada ketentuan khusus mengenai perlindungan lingkungan hidup, termasuk mekanisme anti-SLAPP untuk mencegah kriminalisasi terhadap pembela lingkungan.
RKUHAP 2025 memperkenalkan konsep baru dengan menetapkan POLRI sebagai penyidik utama, yang mewajibkan PPNS dan penyidik khusus di sektor strategis (seperti Narkotika, Lingkungan, Kehutanan, dan Perikanan) untuk mendapat persetujuan POLRI dalam melakukan upaya paksa dan menyerahkan berkas ke penuntut umum. Ketentuan ini menghambat efektivitas penyidikan berbasis keahlian teknis dan bertentangan dengan prinsip koordinasi fungsional, supervisi penuntut umum, serta pengawasan ketat oleh pengadilan.
Kami juga mencermati bahwa proses pembahasan RKUHAP berlangsung dengan minim partisipasi publik yang bermakna. DPR dan Pemerintah hanya mendengar sebagian kecil kelompok secara selektif, sementara kelompok yang paling terdampak—seperti korban salah tangkap, korban penyiksaan, dan korban tindak pidana—tidak diberi ruang untuk menyampaikan pandangan dan pengalamannya. Padahal, partisipasi masyarakat secara bermakna adalah syarat konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020. Mengabaikan prinsip ini merupakan pelanggaran terhadap asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Lebih dari itu, kehadiran tenaga ahli dan akademisi dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Pemerintah hanya dijadikan pelengkap administratif dan simbol legitimasi, bukan mitra substantif dalam pembahasan. Para akademisi tidak benar-benar dilibatkan secara mendalam dalam proses perumusan norma, dan hanya diberikan informasi perkembangan dokumen DIM secara terbatas dan sepihak. Ini menunjukkan bahwa masukan akademik hanya difungsikan sebagai formalitas, bukan sebagai landasan ilmiah dan normatif dalam pembentukan hukum.
RKUHAP 2025 juga mengandung risiko implementasi serius. Dalam Pasal 332–334, RKUHAP ditetapkan mulai berlaku 2 Januari 2026, sementara peraturan pelaksananya baru akan disusun setelahnya. Artinya, akan ada kekosongan norma selama setahun yang berpotensi menimbulkan kekacauan implementasi. Dengan waktu yang sangat terbatas, belum ada kepastian soal kesiapan aparat penegak hukum maupun pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan kepada publik secara menyeluruh.
Oleh karena itu, kami menuntut:
- Presiden RI dan DPR RI menghentikan pembahasan RKUHAP 2025 dan mengembalikannya ke proses yang transparan, dan partisipatif, serta berbasis bukti dan penelitian, sejalan dengan prinsip negara hukum.
- Penyusunan ulang RKUHAP secara substansial, dengan melibatkan perguruan tinggi, akademisi, LBH, NGO, korban, serta lembaga independen seperti Komnas HAM, KY, Komnas Perempuan, LPSK, dan Ombudsman.
- Integrasi dan harmonisasi total antara KUHP dan KUHAP, agar sistem hukum pidana Indonesia benar-benar modern, adil, dan sesuai dengan konstitusi serta instrumen HAM internasional.
Penutup:
Reformasi hukum pidana yang tidak selaras antara aspek materiil dan formil hanya akan menghasilkan sistem hukum yang kontradiktif. Kami berdiri bukan untuk menolak pembaruan hukum acara, namun untuk memastikan bahwa hukum acara yang lahir benar-benar menjamin keadilan, melindungi hak warga negara, dan membatasi kekuasaan negara.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai bentuk tanggung jawab akademik kami dalam menjaga marwah ilmu hukum pidana dan integritas sistem peradilan pidana Indonesia. Pernyataan Sikap Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia 4
Jakarta, 18 Juli 2025
Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia
- Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA., PhD (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia)
- Prof. Dr. Pujiyono, SH. M.Hum (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro)
- Prof. Dr. Topo Santoso., SH, MH (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia)
- Prof. Dr. Rena Yulia., SH., MH (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
- Prof. Dr. Nurini Aprilianda., SH., M.Hum (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Brawijaya)
- Dr. Febby Mutiara Nelson., SH., MH (Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Indonesia)
- Sri Wiyanti Eddyono S.H., LL.M. (HR), Ph.D (Dosen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada)
- Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., SH., MH (Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya)
- Dr. Ahmad Sofian, SH, MA (Dosen Hukum Pidana, Universitas Bina Nusantara/BINUS)
- Amira Paripurna, S.H., LL.M, P.h.D. (Dosen Hukum Pidana, Universitas Airlangga)
- Gandjar Laksmana Bonaprapta, SH., MH (Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia)
- Dr. Vidya Prahassacitta, SH, MH (Dosen Hukum Pidana, Universitas Bina Nusantara / Binus Jakarta)
- Dr. Yusuf Saefudin, SH., MH (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto).
- Dr. Nathalina Naibaho, SH, MH (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
- Dr. Artha Febriansyah, S.H.,M.H. (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya).
- Dr. Nella Sumika Putri, SH., MH (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran).
- Choky Risda Ramadhan, SH., LLM, Ph.D (Dosen Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
- Dr. Edita Elda, SH, MH (Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas)