Depok, 15 Juli 2025 – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyelenggarakan acara “Dengar Cerita Korban: Revisi KUHAP untuk Siapa? #TolakRKUHAP”, sebuah forum inquiry korban yang menghadirkan langsung cerita dari para korban ketidakadilan sistem peradilan pidana. Acara ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi para korban sistem peradilan pidana yang tidak adil (unfair trial) untuk menyuarakan pengalaman dan penderitaannya. Harapannya, alih-alih membuat aturan hukum yang tidak menyelesaikan permasalahan yang sudah ada, DPR RI dan pemerintah dapat menjawab masalah hukum yang dihadapi korban.
Forum ini membahas pengalaman 11 korban ketidakadilan prosedur hukum dan tindakan sewenang-wenang aparat. 11 orang korban tersebut di antaranya adalah korban kasus kriminalisasi di Rempang dan Torobulu, korban dari tindakan undue delay di Bali dan Jakarta, korban kekerasan dan penangkapan sewenang-wenangan aparat di kasus May Day Jakarta 2025, korban rekayasa kasus dari Semarang dan Medan, korban penyiksaan dari Purwokerto dan Jakarta, korban penjebakan dari Manado, serta korban dari kasus Tragedi Kanjuruhan yang masuk dalam multi klaster masalah di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari beberapa Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang pernah disusun, Koalisi menemukan 6 klaster utama praktik buruk penegakan hukum dalam KUHAP ditambah dengan tindakan sewenang-wenang aparat, di antaranya adalah: 1) Undue delay atau penundaan proses hukum yang tidak memiliki dasar; 2) Penangkapan sewenang-wenang; 3) Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP); 4) Rekayasa kasus; 5) Penyiksaan; dan 6) Penjebakan. Klaster-klaster isu ini adalah contoh kasus dari deretan banyaknya kasus yang ada dan ditangani langsung oleh lembaga yang tergabung dalam koalisi ini.
Masukan publik yang disampaikan kepada Pemerintah dan DPR RI terkait Rancangan KUHAP justru dimanipulasi. Seolah didengar namun tidak dipertimbangkan. Selama ini, koreksi lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman RI serta lembaga lainnya agar RKUHAP dibahas dengan hati-hati dan mengedepankan prinsip hukum dan Hak Asasi Manusia tak diindahkan. Faktanya, masalah serius yang terus memakan korban warga negara seperti laporan polisi yang tidak diproses (undue delay), salah tangkap, rekayasa kasus, penyiksaan, konflik kepentingan penyidikan polisi, serta upaya paksa sewenang-wenang justru tidak mendapatkan pengaturan solutif sebagai pencegahan.
Arif Maulana, Pengurus YLBHI yang membuka agenda pertemuan ini, menekankan bahwa RKUHAP adalah kitab represi, kitab bagi kekuasaan, dan masyarakat sipil dihadapkan pada posisi untuk melawan atau diam. Lebih lanjut, Arif juga menegaskan bahwa kita memerlukan KUHAP yang adil, transparan, dan melindungi semua orang, bukan yang hanya menjadi pengabdi bagi legitimasi kekuasaan.
Suara dari para korban
Salah satu korban represi Forum Rakyat untuk Air (People’s Water Forum/PWF) yang kasusnya mengalami penundaan tanpa dasar, Komang Abi, menuturkan: “Hukum milik siapa? Benarkah bahwa negara hadir melindungi korban? Karena saya merasa tidak dilindungi dan saya merasa tidak aman. Masih banyak korban yang membutuhkan keadilan, tetapi negara tidak hadir dan hukum tidak ada”.
Purwoko, keluarga Oki, korban penyiksaan hingga meninggal oleh Polres Banyumas, juga menyampaikan seruan agar tragedi yang dialami keluarganya tidak terulang:
“Kami menolak bungkam. Kisah Oki adalah panggilan nurani agar tragedi ini tidak berulang dan tidak menimpa masyarakat kecil dan tidak mampu. Kematian Oki harus menjadi pengingat, bahwa hukum tanpa keadilan adalah kekerasan yang dilegalkan. Penegakan hukum seharusnya tidak tebang pilih”.
Sementara itu, Rusin, keluarga Fikri, korban salah tangkap oleh Polsek Tambelang, menyampaikan harapannya agar DPR mendengarkan langsung suara para korban:
“Untuk Ketua Komisi III DPR RI, tolong dengarkan suara hati kami, suara para korban salah tangkap. Jangan hanya mendengarkan para ahli yang tidak mengalami apa yang kami alami. Anda itu wakil kami, anda harus mendengarkan kami, jika RKUHAP ini disahkan maka kami akan menggugatnya”.
Ini bukan salah “oknum”, tapi ada kesalahan sistem dalam acara pidana yang harus diperbaiki
Asfinawati, pengacara publik dan pengajar di STHI Jentera, menegaskan bahwa setiap kasus di atas memiliki keterkaitan erat dengan ketentuan dalam KUHAP. Ia menjelaskan bahwa KUHAP bukanlah semata urusan kalangan hukum atau aparat penegak hukum, melainkan juga menyangkut kepentingan masyarakat luas. “Karena ketika KUHAP berlaku, ia berlaku tanpa pandang bulu. Siapa pun bisa terdampak,” ujarnya.
Lebih lanjut, Asfinawati menerangkan bahwa banyak kasus gagal diusut tuntas bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena aparat penegak hukum tidak memahami atau mengabaikan ketentuan dalam KUHAP. Salah satu kewajiban dalam KUHAP adalah memberikan penjelasan kepada korban apabila kasus tidak dilanjutkan. Namun, pada praktiknya, kewajiban ini sering kali diabaikan, terutama jika pelaku adalah anggota militer atau aparat negara.
Salah satu isu krusial lainnya, menurut Asfinawati, adalah tidak adanya kewajiban pendampingan hukum bagi tersangka yang terancam hukuman di bawah lima tahun, padahal kelompok ini justru paling rentan mengalami pelanggaran hak. Ketiadaan pendampingan membuat banyak tersangka mengalami penyiksaan selama proses penahanan dan penyidikan.
Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, yang mewajibkan negara untuk menganggap tidak sah setiap kasus yang melibatkan penyiksaan dalam proses hukum. Namun, dalam praktiknya, masih banyak orang yang disiksa, dijebak, bahkan dibunuh—bukan karena mereka melanggar hukum, melainkan karena dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan.
Permasalahan-permasalahan ini mengimplikasikan hukum acara pidana kita telah disusun sedemikian rupa sehingga memberi keleluasaan berlebih bagi aparat penegak hukum. RKUHAP yang minim perlindungan ini memungkinkan tindakan tanpa akuntabilitas dan memperbesar risiko pelanggaran hak. “Dalam situasi seperti ini, kekuasaan telah menciptakan lawan-lawan baru—yaitu kita semua,” tutup Asfinawati.
Mahasiswa bersikap: RKUHAP adalah ancaman bagi hak rakyat!
Di akhir sesi, perwakilan mahasiswa dari berbagai BEM lintas daerah menyampaikan sikap kritis terhadap arah pembaruan hukum acara pidana yang justru dianggap makin represif.
“KUHAP yang saat ini berlaku telah menjadi tirani. Ia kejam, membatasi unsur-unsur kemanusiaan, tidak mengindahkan hak-hak tersangka maupun korban. Dalam RKUHAP yang baru, permasalahan lama yang sudah ada berpuluh-puluh tahun lalu dibiarkan begitu saja. Dan hebatnya mereka (DPR RI dan Pemerintah) justru membuat masalah baru lewat draf yang tengah mereka susun,” ujar Axel, perwakilan BEM FH UI.
Kritik tajam juga datang dari Ursula, perwakilan BEM FH UGM: “Kami sebetulnya bertanya-tanya, apa sebenarnya original intent dari pembentukan RKUHAP? Pembacaan kami, ini adalah bagian dari upaya memperkokoh rezim militeristik yang sedang dibangun oleh pemerintahan hari ini.”
“Karena kalau melihat secara utuh, banyak legislasi yang justru mengesampingkan kebutuhan rakyat—seperti RUU PPRT—sementara yang diprioritaskan adalah undang-undang yang memperkuat institusi dengan pendekatan militeristik, seperti UU TNI, RUU Polri, dan salah satunya RKUHAP ini,” lanjutnya.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Fadhil dari BEM FH Universitas Diponegoro, yang menyoroti langsung praktik pelanggaran hukum acara dalam penanganan aksi unjuk rasa.
“Pelanggaran hukum acara kami saksikan langsung saat aksi May Day di Semarang. Banyak kawan kami yang dipukul, ditindas, bahkan sampai berdarah-darah. Sebagian dari mereka hingga kini masih berstatus tahanan kota. Karena itu, kami tegas menyuarakan penolakan terhadap RKUHAP,” serunya.
Dari seluruh kesaksian korban, pernyataan mahasiswa, dan catatan panjang perjalanan advokasi RKUHAP yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, forum ini mendesak:
- Presiden dan Ketua Komisi 3 DPR RI untuk menghentikan dan menarik kembali pembahasan RKUHAP, mengulang dan membuka ruang terbuka bagi publik dalam tahapan Perumusan dan Pembahasan RKUHAP.
- Presiden dan Ketua Komisi III DPR RI untuk melakukan kajian akademik secara serius dan mendalam dengan melibatkan Publik luas, Universitas, Fakultas, dan Akademisi, lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, Komnas Perempuan, LPSK, KPAI, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi Informasi Publik, Melibatkan organisasi-organisasi Bantuan Hukum, Organisasi Advokat, Organisasi Hak Asasi Manusia lainnya, dan korban-korban dari penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum;
- Seluruh warga negara, pemerhati hukum, korban dan penyintas kejahatan dan pelanggaran aparat penegak hukum, akademisi dan universitas, gerakan masyarakat sipil, dan seluruh elemen bangsa dengan cepat dan seksama memperhatikan dan terlibat aktif dalam pembahasan RKUHAP yang sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Jakarta, 15 Juli 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP
Catatan:
- Siaran langsung agenda Inquiry korban:
- Seluruh informasi terkait rangkaian advokasi KUHAP versi masyarakat sipil dapat dilihat pada laman berikut: https://reformasikuhap.id/
- Unduh versi RKUHAP tandingan versi masyarakat sipil pada laman berikut: https://reformasikuhap.id/wp-content/uploads/2025/07/8-Juli-2025_Usulan-Draf-Tandingan-RKUHAP_Koalisi-Masyarakat-Sipil-untuk-Pembaruan-KUHAP.pdf